Prof. I Gede Winasa Melayani Masyarakat bukan Dilayani

February 25, 2008

Winasa Bali“Seorang pemimpin harus memiliki kualitas dan bobot untuk mengambil langkah-langkah yang bagi orang lain tidak mungkin tetapi di tangannya menjadi mungkin tanpa harus melawan hukum yang ada. Karena, untuk itulah seorang pemimpin ada,” ujar Prof. DR. drg. I Gede Winasa, Bupati Jembrana.

Ketika reformasi di bidang politik digulirkan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat rendah. Jika seperti itu artinya, pemerintahan yang ada sudah tidak mendapat legitimasi dari rakyatnya. Pemerintahan yang tidak mendapat legitimasi dari masyarakatnya adalah pemerintahan yang bangkrut. Kondisi seperti itu sangat terasa kental pada awal tahun 2000-an.

Saat itu, secara sederhana masyarakat memahami pemerintah adalah para pegawai negeri sipil yang duduk di kantor-kantor pemerintahan sebagai “musuh bersama” lantaran perilaku mereka yang lebih sebagai tuan ketimbang pelayan masyarakat. Kenyataan ini tentu tak bisa dibiarkan berlarut-larut.

“Sebagai kepala daerah, saya harus mengambil kebijakan yang bisa diterima kedua belah pihak, baik oleh jajaran birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan dan masyarakat sebagai komunitas yang harus dilayani oleh penyelenggara pemerintahan.

Karena itu, langkah pertama yang saya ambil adalah melakukan reformasi birokrasi sebelum mengambil kebijakan lainnya,” ungkap Winasa.

Birokrasi yang sarat dengan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme diyakini sebagai salah satu biang kerok keterpurukan bangsa ini ke dalam kubangan krisis multidimensional. Jika ingin melakukan reformasi di bidang birokrasi pemerintahan dan lembaga lainnya, tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan.

“Reformasi birokrasi berarti berbicara tentang manusia yang selalu berinteraksi. Tetapi kalau tidak dijalankan sekarang juga, kapan lagi memulainya?” katanya retoris. Untuk sampai ke arah itu, diperlukan langkah dan strategi yang tepat agar tidak ada cultural shock di dalam tubuh birokrasi sendiri, yang kalau dibiarkan bisa berimbas kontraproduktif dan mengganggu kualitas pelayanan pemerintah terhadap publik.

Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian ketika memulai langkah perbaikan pada tubuh birokrasi pemerintahan. Pertama, dari sisi kelembagaan. Kedua, keberadaan sumber daya manusia aparatur. Ketiga, perilaku atau tata laksana. Keempat, akuntabilitas. Kelima, pola pengawasan.

“Dengan dilakukannya penyempurnaan secara sistematis dan terukur pada wilayah birokrasi pemerintahan diharapkan melahirkan budaya kerja dan kinerja yang baru yaitu birokrasi pemerintahan yang mengambil posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan dilayani masyarakat.

Restrukturisasi Kelembagaan
Apa yang harus dilakukan untuk penyempurnaan dari sisi kelembagaan yang menunjukkan bangunan kelembagaan birokrasi pemerintahan yang gemuk, tidak efektif dan sulit melakukan efisiensi?
Ada beberapa pertimbangan strategis yang harus diperhatikan ketika melakukan restrukturisasi organisasi pemerintahan, yaitu dasar hukum, kewenangan-kewenangan yang ada -apakah itu kewenangan pemerintah pusat, provinsi atau kabupaten- dan analisa terhadap dukungan potensi daerah yang ada disesuaikan visi dan misi daerah sendiri. Kemudian analisa jabatan, beban kerja serta tinjauan dari sisi pelayanan publik -apakah organisasi itu efektif dan efisien-. “Dengan pertimbangan tersebut, dapat dibentuk organisasi yang lebih ramping namun mampu mengakomodasi beban kerja dan kewenangan yang dimiliki,” katanya.
Secara sederhana, penyusunan dan restrukturisasi organisasi pemerintahan di Jembrana mengacu pada visi daerah yakni meningkatkan kualitas hidup dengan cara meningkatkan kualitas SDM lewat peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan pemerataan di bidang pendidikan, serta pengembangan ekonomi kerakyatan untuk membangun sikap kewirausahaan serta kemandirian dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang berkeadilan, bersih, dan terukur.
Yang tidak kalah penting dalam upaya restrukturisasi kelembagaan adalah keberanian melibatkan lembaga independen dalam melakukan analisa sehingga kinerja yang dihasilkan benar-benar terhindar dari pertimbangan yang bersifat subyektif dan kepentingan fragmatis. Dalam hal ini, Pemkab Jembrana melibatkan institusi pendidikan seperti Unud. Hasil analisa dari lembaga independen itulah yang kemudian diterapkan secara operasional.
Struktur pemerintahan bukanlah harga mati. “Struktur dipandang sebagai salah satu alat organisasi harus dinamis mengikuti perkembangan dan disesuaikan dengan kebutuhan serta permasalahan yang dihadapi,” jelasnya. Dalam melakukan restrukturisasi birokrasi akan banyak aparatur atau pegawai yang kehilangan jabatan dan kedudukan. Di Jembrana setelah diadakan restrukturisasi birokrasi pada tahun 2003, terdapat dua badan, tujuh dinas, dan dua kantor dari sebelumnya dua badan, sembilan dinas, sembilan kantor dan satu sekretariat.
“Hasil restrukturisasi tersebut disesuaikan dengan pembobotan yang dihubungkan dengan potensi serta visi dan misi daerah,” kata Winasa. Pembobotannya menentukan apakah sebuah lembaga cukup sebatas kantor, dinas, badan atau hanya bagian. Analisa dari tim independen menghasilkan pengelompokkan yang profesional dan terukur, terdiri atas empat kelompok yaitu kelompok ekonomi, kelompok peningkatan, kelompok layanan publik, dan kelompok penunjang yang memiliki tugas utama melakukan perencanaan, pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja masing-masing kelompok.

Restrukturisasi Kepegawaian
Setelah restrukturisasi kelembagaan, yang tak kalah penting adalah restrukturisasi kepegawaian. “Masyarakat menuntut perilaku pemerintahan yang baik,” katanya. Karena itu, diperlukan birokrat andal , teruji, profesional, jujur dan memenuhi prasyarat dari sisi kompetensi.
Secara normatif, pengisian struktur kelembagaan yang sudah ada Pemkab Jembrana mengambil kebijakan yaitu pengangkatan PNS dalam jabatan struktural dari PNS dengan lata belakang pendidikan formal minimal strata 1; pengangkatan tetap berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku khususnya peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian dengan tetap memperhatikan faktor kepangkatan, pendidikan formal, pendidikan penjenjangan, dan kompetensi; untuk mengetahui tingkat kemampuan dan kompetensi, PNS yang akan dipromosikan dalam jabatan struktural harus melalui tes psikologi yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga independen profesional dalam hal ini Laboratorium Perilaku unud; bagi bekas pejabat struktural yang tidak tertampung lagi dalam jabatan struktural, yang bersangkutan akan diangkat dan ditempatkan pada ‘jabatan fungsional khusus’ dengan tetap memperhatikan dasar pendidikan formal, pengalaman kerja, dan kompetensi jabatan; untuk penataan PNS di dalama ‘jabatan fungsional umum’ (setingkat staf), hal-hal yang diperhatikan adalah beban kerja dari instansi penampung serta tiap pegawai harus memiliki tugas dan fungsi yang jelas, yang diselenggarakan secara bertanggung jawab.
Guna menghindari resistensi atas perilaku organisasi berupa mutasi, Pemkab Jembrana menawarkan beberapa pola rekrutmen pengisian jabatan dan memperlakukan mutasi sebagai therapy management sehingga tidak melahirkan konflik yang melebar.
Pola rekrutmen yang ditawarkan adalah pola kanalisasi yaitu kebijakan bagi pejabat struktural yang karena kebijakan organisasi tidak lagi menduduki jabatan tertentu; pola tender jabatan yaitu pendekatan untuk menghindari pola yang bersifat subyektif aau ‘suka-tidak suka’ dan diselenggarakan secara terbuka bagi PNS yang telah memenuhi syarat dalam menduduki jabatan yang ditawarkan; tes kepatutan dan kelayakan. “Pendekatan tersebut guna mempercepat terjadinya restrukturisasi kepegawaian dalam rangka reformasi birokrasi ketatapemerintahan,” ujar Winasa. – adv

Kalau Mau pasti Bisa

Ketika Pemkab Jembrana melakukan reformasi yang cukup radikal pada birokrasi pemerintahan, banyak yang bertanya, mengapa Prof. Winasa berani melakukan semua itu?
“Pertanyaan sebenarnya bukan pada apakah seorang bupati berani atau takut untuk melakukannya tetapi kenapa harus takut dan kenapa harus berani?” jawabnya retoris. Selama kebijakan yang diambil tidak bertentangan secara prinsip dengan peraturan perundang-perundangan yang mengaturnya, tidak perlu takut.

“Sikap seorang pemimpin daerah apakah dia seorang gubernur, walikota/bupati terhadap agenda reformasi birokrasi bukan terletak pada takut atau berani tetapi apakah seorang kepala daerah memiliki kemampuan dan komitmen untuk itu atau tidak. Bagi Pemkab Jembrana, hanya ada satu komitmen yaitu kalau mau pasti bisa dan itu sudah dibuktikan,” lanjutnya.

Jembrana merupakan daerah yang paling awal melakukan reformasi birokrasi dengan konsep organisasi pemerintahan yang ramping namun optimal secara fungsional dan untuk itu, Prof. Winasa telah menerima berbagai penghargaan baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga independen dan menjadikan Jembrana sebagai laboratorium hidup bagi para peneliti dan pemda di Indonesia.

Awalnya Prof. Winasa menyadari untuk melakukan reformasi birokrasi bukanlah hal yang mudah dan penuh risiko. Namun demikian, tanpa melakukan reformasi birokrasi maka upaya pencegahan perilaku korupsi hampir pasti tidak mungkin dilakukan. Jadi pilihannya hanya satu melakukan reformasi birokrasi atau tidak samasekali, yang berarti akan membiarkan tumbuh suburnya perilaku KKN utamanya korupsi.

Namun bagi Prof. Winasa, sebagai pemimpin suka atau tidak maka reformasi birokrasi haruslah dilakukan. Bagaimana dengan risikonya? Di sinilah harus disadari bahwa setiap kebijakan yang diambil pasti menyandang risiko bagi pengambil kebijakan itu sendiri. Selain itu janganlah pernah berpikir bahwa sebuah kebijakan yang diambil akan dapat memuaskan semua orang namun yang harus dikedepankan adalah kepentingan orang banyak, kepentingan bangsa dan negara adalah segala-galanya.

Sumber : CyberTokoh